Sabtu, 25 September 2010

Perbedaan Harus Ditunjukan!

Indonesia mempunyai sebuah slogan yang sangat baik mengenai perbedaan, yaitu walau berbeda-beda tetapi tetap satu.

Jika diterapkan dengan baik dan benar maka seharusnya kejadian yang membawa isu perbedaan tidak terjadi di negara kita tercinta ini.

Nampaknya kita, anak Indonesia sering kali dihadapkan pada situasi pendidikan yang terlalu baku, hingga secara logika sangat sulit untuk di bantah ataupun dirubah. Walaupun mungkin sebenarnya sedikit banyak mengandung kesalahan ataupun secara tidak sadar membawa dampak buruk.

Yang saya bahas adalah mengenai memaknai perbedaan. Kita pada masa SD sering kali di ajarkan mengenai perbedaan, mengenai indahnya perbedaan dan menerima perbedaan. Tetapi sadar atau tidak kita mendapat penerapannya dengan cara yang berbeda dengan apa yang diajarkan.

Kita, dahulu diwajibkan untuk bersikap menghargai perbedaan dengan menyamakan perbedaan yang ada. Sering kali kita disuruh untuk menyembunyikan perbedaan yang kita miliki, hingga saat ini pun saya rasa hal ini masih dilakukan.

Salah satunya yang saat ini terjadi adalah dengan tidak bolehnya membawa handphone misalnya ke sekolah, dengan alasan agar tidak terjadi kecemburuan sosial antara teman-teman. Mungkin maksudnya baik, tetapi ternyata secara tidak langsung ini membuat banyak anak akan lebih frontal menunjukan perbedaannya di luar lingkungan sekolah. Padahal di saat sekarang ini, di masa handphone bukan lagi barang mewah tetapi merupakan suatu kebutuhan komunikasi, handphone bukanlah lagi sebagai alat pembeda atau alat ukur status sosial. Saya sendiri pernah melihat seorang pengemis yang sedang istirahat sejenak dari "pekerjaanya" sambil bertelepon ria dengan seseorang di handphonenya.

Perbedaan secara logika harusnya bisa menjadi bahan pembelajaran. Kenapa? Karena perbedaan adalah suatu hal yang bisa mengidentifikasi suatu hal sehingga bisa di bedakan antara satu dan lainnya. Jadi jelas perbedaan adalah alat pembeda bukan malah dijadikan satu.

Perbedaan harusnya di hadirkan tetapi diberikan pengertian dan pembelajaran bahwa perbedaan itu bukanlah hal yang harus diperdebatkan, kita harus bisa melihat perbedaan itu sebagai alat untuk memahami satu sama lain.

Karena memang secara logika yang namanya beda tidak dapat menjadi satu. "Satu" terjadi karena memiliki suatu hal yang sama.

Kita pada masa sekolah diajarkan untuk menyamakan perbedaan itu, jelas ini adalah didikan yang salah. Bayangkan jika perbedaan tetap dibiarkan tetapi dengan pembekalan pembelajaran. Yang terjadi adalah rasa menghargai perbedaan itu. Sedangkan yang terjadi saat ini, kita semua "diwajibkan" untuk menyamakan diri dengan orang lain. Ketika kita melihat orang yang "tidak sama" dengan kita, maka kita akan menghujatnya bahkan menilainya dengan negatif. Yang lebih ekstrim adalah kita berusaha dengan segala cara untuk sama dengan orang lain tersebut.

Seharusnya kita menumbuhkan sikap menerima dan menghargai perbedaan. Dengan begini saya percaya orang akan menilai kita dari apa yang kita perbuat (sikap perilaku) daripada apa yang kita kenakan. Jika ini diterapkan, maka saya percaya akan tumbuh sikap-sikap menghargai perbedaan yang imbasnya adalah persatuan. Bukan di jadikan sama atau dijadikan satu. Karena persatuan itu adalah kumpulan dari "satu-satu" tanpa menghilangkan ciri khas dari masing-masing "satu" tersebut.

Sikap ini saya yakin akan memberikan pendidikan yang lebih baik daripada saat ini, menerima perbedaan akan membuat orang menghargai orang lain tanpa melihat status.

Contohnya adalah jika kita menghargai perbedaan, kita tentu akan berusaha bersikap bagaimana menghargai perbedaan-perbedaan yang ada. Dengan begitu kita tidak memaksakan diri untuk sama dengan orang lain, salah satunya kita tidak memaksakan untuk punya barang sama kerennya dengan teman kita. Atau sebaliknya, kita yang lebih punya akan berusaha menjaga bagaimana caranya agar teman yang tidak punya barang keren seperti kita, bisa menjadi nyaman dengan apa yang dia punya. Dengan begitu sifat saling mengisi dan menghargai akan timbul secara otomatis tanpa paksaan atau kewajiban yang dibuat oleh pihak lain.

Jadi jelas perbedaan itu harusnya bukan di hilangkan secara semu dengan menjadikannya sama, menjadikannya satu atau menyeragamkannya tetapi dengan BERSATU!


 Posted using BlogPress from my iPad

Senin, 08 Maret 2010

Benarkan manusia terbuat dari tanah?

Dari tanah kembali ke tanah. Itulah kalimat yang biasanya kita dengar untuk menggambarkan kematian seorang manusia. Manusia selalu dikatakan terbuat dari tanah.

Benarkan demikian?

Tubuh manusia sejatinya memiliki kandungan cairan yang sangat mendominasi tubuhnya. Sekitar 80% tubuh manusia terdiri dari cairan, mulai dari darah, pelapis atau pelindung antar anggota tubuh, enzim-enzim yang dihasilkan, hingga proses-proses akhir seperti hasil pembakaran energi berupa keringat atau urine yang merupakan hasil dari pembersihan tubuh.

Begitu dominan dan pentingnya cairan dari tubuh manusia, sampai-sampai manusia bisa bertahan lebih lama hidup hanya dengan air jika dibandingkan bertahan hidup hanya dengan makanan.

Manusia bisa bertahan lebih dari 3 hari jika hidup hanya dengan meminum air, tetapi manusia tidak bisa hidup lebih dari 3 hari jika hanya dengan makanan. Organ tubuh terpenting kita yaitu otak, yang mengendalikan segala fungsi tubuh, sangat memerlukan air, jika kekurangan maka dia akan mengambil pasokan air dari bagian tubuh lainnya. Dari sini kemudian akan terjadi yang biasanya disebut dehidrasi, yang jika dibiarkan akan dapat mengakibatkan kelumpuhan bahkan kematian.

Tubuh manusia pun akan panas jika kekurangan pasokan air, ini sama seperti mesin yang kekurangan oli. Tidak dapat bekerja maksimal karena tidak adanya pelumas untuk menjalankan fungsi-fungsinya.

Bahkan ketika meninggal, tubuh manusia sebagiannya akan terurai oleh bakteri dan bagian lainnya akan menjadi mineral yang bisa larut atau menyatu kedalam tanah.

Jika melihat fakta-fakta diatas, maka perkataan yang pernah dikatakan oleh Thales (salah satu tokoh filsafat dari abad ke 6 SM) yaitu "semua berasal dari air dan semua kembali menjadi air" bisa menunjukan suatu kebenaran.

Apakah mungkin kata tanah yang kita jumpai pada kitab suci hanya berupa penggambaran yang ternyata esensinya adalah bukan tanah seperti yang kita ketahui? Didalam kitab suci juga dijelaskan bahwa manusia tercipta dari Air mani (sperma) yang kemudian bertemu dengan sel telur.

Maka kemudian dimana letak "tanah" tersebut? Apakah mungkin para tokoh agama yang mengajarkan bahwa manusia terbuat dari tanah telah melakukan kesalahan mendasar dalam mengerti sebuah penciptaan manusia? Bahwa sesungguhnya manusia yang tercipta dari tanah itu hanya berlaku bagi penciptaan umat manusia pada awalnya?

Adam dan hawa yang kita ketahui sebagai manusia pertama yang diciptakan. Pada saat penciptaan mereka, jelas sekali bahwa tidak ada pertemuan antara sel sperma dan sel telur, maka untuk mewujudkan dan menciptakan manusia pertama kali dibuatlah dari tanah yang kemudian ditiupkan ruh. Yang baru setelah adam dan hawa diturunkan ke bumi mereka kemudian mempunyai keturunan melalui proses pertemuan sprema dan sel telur.

Jika benar bahwa kalimat "manusia tercipta dari tanah" itu hanyalah gambaran untuk menceritakan penciptaan manusia pada pertama kali (adam dan hawa) maka tokoh-tokoh agama kita yang selama ini menceritakan bahwa manusia tercipta dari tanah yang berlaku untuk semua manusia harus di hentikan. Bahwa mereka telah melakukan kesalahan besar yang mendasar dalam mengartikan dan mencermati apa yang disampaikan oleh kitab suci.

Dari fakta-fakta diatas, masihkah kita menyebut diri kita, manusia, tercipta dari tanah?!

• Posted using BlogPress from my iPhone 3GS